Post; Nur Ikhsan D.
C. S., Hum. ( Fb; ǏQşāŋ Ăĺwayss
Blinkerz & Iqsan Dwi Candra )
Kategori;
Islam di Sumbagsel
Masuknya
Agama Islam ke Sumatera Bagian Selatan
Sumber-sumber sejarah masa lalu,
khususnya pada masa sebelum masehi, seringkali
bukan hanya merupakan sumber tertulis, melainkan juga sumber-sumber
lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu dari sumber-sumber lisan
itu antara lain berkenaan dengan uraian mengenai nama-nama tempat yang asalnya
dianggap berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tertentu.
Sehubungan dengan proses masuknya
agama Islam ke Sumatera Selatan, sumber-sumber lisan maupun tulisan yang
dikaitkan dengan asal mula peristiwa atau nama tempat juga diperoleh. Tulisan
ini bermaksud untuk mengungkapkan beberapa diantaranya.
Menurut sumber-sumber yang dapat
diperoleh mengenai sejarah Sumatera bagian Selatan sebelum abad Masehi,
dinyatakan bahwa sejak masa sekitar 300 tahun sebelum Masehi, terdapat tiga
buah kerajaan yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda.
Pertama,
Kerajaan Dempo dengan rajanya yang bergelar Raja Dempu Awang, terletak di
daerah Pagaralam sekarang ini (di daerah Gunung Dempo). Kerajaan ini menguasai
wilayah Sumatera Selatan bagian Barat.
Kedua,
Kerajaan Ipuh dengan rajanya yang bergelar Ranggo Laut (Penjaga Laut), terletak
di Bukit Batu Tulung Selapan sekarang ini, yang kini termasuk dalam Kabupaten
Ogan Komering Ilir dan Gunung Manumbing di Pulau Bangka. Melihat letak daerah
itu, tampak bahwa kerajaan ini menguasai bagian Timur Sumatera bagian Selatan,
termasuk Pulau Bangka.
Ketiga, Kerajaan Danau dengan rajanya yang
bergelar Pedamaran Tuan Tigo Tanah Danau. Kerajaan ini terletak di sebelah
Selatan Sumatera bagian Selatan, yang kini merupakan daerah Lebak atau danau
yang bernama Pedamaran. Tempat ini di masa lalu disebut pula sebagai Pedamaran.
Marga Danau. Sebenarnya kerajaan Danau ini tidak dapat disebut kerajaan karena
merupakan wilayah tempat orang bercocok tanam di ladang yang juga dikenal
dengan nama Umbul Parataran. Penduduk terkonsentrasi di wilayah tersebut.
Menurut cerita di masa selanjutnya salah seorang pemimpin mereka mempunyai tiga
orang putri yang sangat cantik dan terkenal dengan nama Putri Danau atau Putri
Air.
Pada
abad ke-6 M, ketiga wilayah ini dikatakan tergabung menjadi satu wilayah karena
adanya perkawinan antara raja Dempo, yaitu bergelar Rana Dempu atau Dempu Awang
dan raja Ipuh, yaitu bergelar Ronggo Laut, dengan putri-putri kerajaan Danau
tersebut di atas. Dengan bersatunya ketiga kerajaan itu, menurut cerita,
terbentuklah sebuah kerajaan baru yang disebut kerajaan Danau dan raja yang
dipilih untuk memimpinnya adalah Ranggo Laut, yang bergelar Syailendra. Istilah
ini berasal dari kata ‘’Sailandarah”, yang pada masa Pedamaran dijelaskan
sebagai “ganti tunggu rumah, jalan diam”. Keluarga Syailendra inilah disebut
oleh sumber-sumber kerajaan Sriwijaya sebagai keluarga yang juga menguasai
Pulau Jawa dan mendirikan Candi Borobudur dan candi-andi lainnya di Jawa.
Raja-raja
dari keluarga Syailendra, yang dikenal sebagai para penguasa kerajaan Sriwijaya
pada abad ke-6 sampai ke-9 M, menurut sumber-sumber tertentu bukanlah dari
kerajaan Sriwijaya melainkan dari kerajaan Seribu Daya, yang penduduknya
maenganut agama Budha.
Pada
masa selanjutnya, menurut cerita, setelah bekas kerajaan tersebut menganut
agama Islam yang masuk ke Sumatera bagian Selatan dan menjadi suatu kerajaan
yang diperintah oleh seorang ratu yang bernama Ratu Patih yang bergelar Ratu
Sinuhun Ning Sakti. Makamnya berada di salah satu Ilir di Palembang Lama, di
Kota Palembang sekarang ini.
Kedatangan
dan Penyebaran Agama Islam ke Sumatera Selatan
Sumber-sumber menyatakan bahwa pada
abad ke-12 M, yaitu pada tahun 1180 M, suatu kesatuan armada yang terdiri dari empat buah kapal bertolak
dari pulau Jawa atas perintah Wali Songo (Wali Sembilan). Dua buah kapal
berasal dari Demak, dengan nahkoda yang bernama Raden Kuningan dan nahkoda
Suroh Pati. Dua kapal lainnya berasal dari Cirebon, dengan nahkoda yang bernama
Sidik Karto Jati yang berasal dari Gunung Jati di Cirebon dan dari Banten
dengan Nahkoda yang bernama Empu Ing Sakti Barokatan. Kapal-kapal mereka
disebut pula dengan istilah Rejung.
Keempat armada tersebut bertolak ke
Sumatera Selatan untuk menyiarkan agama Islam di tiga Kerajaan, yaitu kerajaan
Dempo, Ipuh dan Danau. Mereka berangkat melalui jalur ke Kuala Lumpur, tidak
melalui Selat Malaka. Beberapa waktu setelah berlayar, armada ini tiba di
tempat yang sekarang disebut sebagai
Bukit Seguntang atau Bukit Siguntang. Pada waktu itu mereka dilanda oleh angin
topan yang dahsyat sehingga salah satu kapal, yaitu yang berasal dari Cirebon,
karam terpukul gelombang laut.
Dengan tenggelamnya kapal nahkoda
Sidik Karto Jati, maka para penumpang kapal dari Cirebon tersebut terpaksa
menetap di Bukit Siguntang. Nama itu sendiri dikatakan muncul akibat adanya
peristiwa tersebut, demikian pula halnya dengan nama Gunung Meruh atau Maha
Meruh. Bukit Siguntang menggambarkan adanya tanah yang muncul dari permukaan
air laut (tebuntang), sedangkan Maha Meruh berasal dari kata Meruk, artinya “Berdiam” atau “menetap”.
Maka kedua nama ini melukiskan hal yang dialami dan dihadapi para penumpang
kapal tersebut, yakni adanya tanah yang sedikit muncul di permukaan laut dan
menetapnya orang Cirebon itu di tempat tersebut.
Bencana alam tersebut dalam bahasa
Arab disebut sebagai Musibah. Karena itu, sungai yang
membelah kota Palembang disebut sungai Musi, untuk memperingati adanya
musibah itu. Pemberian nama ini membuat adanya perkiraan bahwa orang-orang
Cirebon itulah yang mula-mula mendiami daerah ini yang sebelumnya tak
berpenghuni.
Dengan karamnya perahu yang
bernahkoda Sidik Karto Jati, maka hanya tiga kapal saja yang dapat melanjutkan
misi mereka. Ketiga nahkoda itu lebih dahulu melakukan perundingan, siapa yang
akan menuju ke Dempo, siapa yang menuju ke Ipuh dan siapa yang menuju Danau.
Dalam musyawarah itu kemudian diputuskan bahwa kapal Demak dengan nahkoda Raden
Kuningan berangkat ke Dempo di sebelah Barat, kapal Banten dengan nahkoda Empu
Ing Sakti Barokatan menuju ke Ipuh di sebelah Timur, khususnya ke daerah yang
sekarang disebut sebagai Bukit Batu atau daerah di sebelah Timur Tulung Selapan
Ogan Komering Ilir. Kapal Demak lainnya dengan nahkoda Suroh Pati bertolak
menuju ke Selatan, yaitu Danau. Tempat musyawarah mereka itu terletak di daerah
Indralaya sekarang, yaitu dusun Sako Tigo dan Sungai Ogan. Kata Sako Tigo yang
berarti tiga arah, yaitu Barat, Timur dan Selatan. Sungai Ogan berasal dari
kata Bergan, yang berarti “berlabuh sementara” atau “menetap sementara”. Selain
itu terdapat nama lain, yaitu dusun Burai dengan marga Burai, yang berasal dari
kata “bercerai”. Kata tersebut seringkali diucapkan sebagai Jurai, yaitu
keturunan dari seorang awak kapal Demak yang bernama Indrajaya. Nama itu
kemudian berubah menjadi dusun Indralaya yang berlokasi di Indrajaya sekarang.
Kapal Demak dengan nahkoda Raden
Kuningan ternyata kemudian terpaksa berlabuh karena disebut sebagai Prabumulih
sekarang ini, yang dikenal juga dengan nama Gunung Ibul. Sungai mengalir di
situ disebut Sungai Kelekar, sedangkan tempat yang disebut dusun Ibul, berasal
dari kata “membuang Jangkar”. Di samping itu terdapat suatu lokasi yang bernama
dusun Gelumbang, yang berasal dari kata “Gelombang”. Di daerah Gunung Ibul itu
terdapat suatu tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat, khususnya
masyarakat pedalaman Sumatera Selatan dan disebut Keramat Gunung Ibul.
Adapun arnada Demak yang lainnya,
yang bernahkoda Suroh Pati yang bertolak menuju Danau, telah berlabuh di suatu
tempat dan penumpangnya mendarat di daerah yang sekarang disebut dusun
Meranjat. Nama ini berasal dari kata “mendarat”. Mereka mendirikan
perkampungan, kemudian meninggalkan adik Suroh Pati yang bernama Putri Pati. Adanya
penumpang wanita dalam kapal nahkoda Suroh Pati ini memang disebutkan oleh
sumber-sumber yang menyatakan bahwa para Wali Sembilan yang datang ke Palembang
terdiri dari 8 orang laki-laki dan seorang wanita,
Tempat berlabuh kapal nahkoda Suroh
Pati tersebt kini menjadi suatu delta yang terletak di antara dua dusun
Meranjat dan Tanjung Batu sekarang. Di sini terletak makam nahkoda Suroh Pati
dan makam Puyang Rio Megat Sari atau Usang Rimau. Selain itu terdapat suatu
dusun yang bernama dusun Beti, yang berasal dari nama Putri Patih. Akibat
terdamparnya kapal mereka, pengikut nahkoda Suroh Pati tidak jadi menyiarkan
agama Islam ke Danau, melainkan ke Ulu Ogan dan sekitarnya, dan untuk sementara
terhenti di daerah yang bernama Rambang, seorang tokoh yang semula bernama
Syarif Abdul Rahman. Lokasinya adalah di antara tepi sungai Ogan dan dusun
Rambang. Tokoh ini salah satu seorang
penumpang kapal nahkoda Suroh Pati.
Armada yang berasal dari Banten,
dengan nahkoda Empu Ing Sakti Barokatan, berlayar ke arah Timur menuju Ipuh;
yang lokasinya adalah Bukit Batu Tulung Selapan sekarang. Mereka juga mengalami
hambatan dilanda angin kencang sehingga kapal kehilangan arah. Sebagai
akibatnya, mereka tidak menuju ke Timur seperti yang direncanakan semula,
melainkan ke Selatan. Disana mereka terdampar di suatu tempat yang dahulu
bernama Pedamaran dansekarang dikenal sebagai Sekampung atau Pulau Sekampung.
Nama ini juga menyatakan bahwa di tempat itulah dahulu para awak dan penumpang
kapal mendirikan perkampungan. Di tempat ini terdapat makam yang dikeramatkan,
yang disebut Pedamaran Usang atau Puyang Sekampung. Makam tersebut merupakan
makam salah seorang tokoh yang turut dalam kapal. Bernama Syarif Husin
Hidayatullah, yang kemudian diangkat menjadi kepala pemerintahan setempat di
Pulau Sekampung dan disebut Rio, dengan gelar Rio Minak. Di kampung ini ia
mengajarkan agama Islam kepada masyarakat di sekitar danau atau lebak, yang
sebelum dan pada masa pemerintahan keluarga Syailendra atau kerajaan Seribu
Daya menganut agama Budha dan disebut juga sebagai Pedamaran Budi Kerti.
Setelah perkampungan mereka mantap,
Syarif Husin Hidayatullah memerintahkan Empu Ing Sakti Barokatan untuk bertolak
menuju Jawa melalui daerah yang kini merupakan Lampung. Tujuannya adalah
memberitahukan para Wlai Sembilan di Jawa bahwa tiga dari keempat armada mereka
tidak sampai di sasaran semula, melainkan ke tempat lain akibat musibah yang
dialami.
Dari uraian di atas tampak bahwa
semula agama Islam disiarkan oleh orang-orang Jawa atas perintah Wali Sembilan
pada abad ke-12 M, yaitu pada tahun 1180 M. Karena selama bertahun-tahun para
Wali Sembilan tak mendengar kabar tentang misi keempat armada tersebut, maka
Syarif Hidayatullah yang terkenal sebagai Sunan Gunung Jati di Cirebon
memberangkatkan suatu armada lain dikepalai oleh Kholik Hamirullah. Tugasnya
adalah mencari keterangan tentang keempat armada terdahulu.
Kedatangan
Armada Kholik Hamirullah ke Sumatera
Bagian Selatan
Pada tahun 1221 M, armada Kholik
Hamirullah bertolak ke Siguntang, Meranjat dan Prabumulih, dan akhirnya ke
Sekampung Danau Pedamaran. Di Sekampung beliau dinikahkan dengan anak Rio Minak
Usang Sekampung, dan diangkat sebagai Rio dengan gelar Ario Damar, berkedudukan
di tempat yang bernama Sesa Baru. Nama Rio Damar inilah yang sesungguhnya
menyebabkan terjadinya nama Pedamaran, yang berasal dari kata “Damar” atau
pelita, karena ia menyebarkan dan menyiarkan agama Islam kepada para penduduk
yang semula menyingkir dari Danau karena tidak bersedia masuk Islam yang
diajarkan oleh Syarif Husin Hidayatullah Usang Sekampung. Dalam penyingkiran
itu, mereka mendiami daerah di sekitar lebak-lebak dan talang-talang di daerah
Pedamaran sekarang, seperti Lebak Teluk Rasau, Lebak Air Hitam dan Lebak
Segalauh, juga Tanah Talang yang kini menjadi Pedamaran. Semula tempat itu
bernama Talang Lindung Bunyian. Ketika itu, penduduk yang bersangkutan menganut
kepercayaan animisme dan sebagian lainnya beragama Budha.
Dalam waktu beberapa tahun ketika
Kholik Hamirullah atau Rio Damar berada di daerah yang kini bernama Pedamaran,
berhubungan antara para wali di Jawa dengan orang Palembang menjadi lebih
lancar. Sekitar 5 tahun sesudahnya, datanglah seorang tokoh yang bernama Maulana
Hasanudin, penyiar agam Islam dari Banten ke Sumatera bagian Selatan tersebut.
Ia mengunjungi para pengikut keempat nahkoda yang berada di Siguntang,
Meranjat, Prabumulih dan Danau Pedamaran, dan akhirnya menikah dengan Putri
Patih yang berada di Meranjat, yaitu saudara nahkoda Suroh Pati.
Kedatangan Maulana Hasanuddin ke
daerah Palembang ini dikatakan terjadi pada tahun 1227 . beberapa saat setelah
berdiam di Meranjat, ia pindah ke Palembang dan kemudian diangkat menjadi
Sultan sedangkan istrinya menjadi Ratu. Tak lama sesudah itu, ia pulang ke
Banten dan menjadi Sultan Banten.
Dengan kembalinya Sultan Hasanuddin
ke Banten, maka pemerintahan dialihkan kepada Putri Patih yang kini bergelar
Ratu Sinuhun Ning Sakti. Untuk membantu sang Ratu, Ario Damar didatangkan atau
Ario Dillah, yang berasal dari nama Kholik Hamirullah. Suroh Pati diangkat
menjadi Panglima perang.
Menurut sumber-sumber yang
diperoleh, dalam pemerintahan Ratu Sinuhun Ning Sakti ini, agama Islam
berkembang dengan pesatnya, penyebarannya dari Palembang sampai ke Jambi,
Bengkulu, Riau daratan hingga Semenanjung Tanah Melayu.
Pada masa pemerintahan Ratu Sinuhun
Ning Sakti ini, muncul kisah-kisah yang melukiskan tentang kesaktian sang Ratu
yang tidak ada bandingannya. Ia juga dianggap sebagai Ratu yang arif dan
bijaksana, mempunyai tiga buah meiam sakti yang konon katanya berada di dasar
Sungai Musi. Menurut ilmu mistik, meriam-meriam tersebut terletak di daerah
perairan yang sekarang disebut sebagai Muaro Tigo Tanggo Putus, yaitu disebut
sebagai Muara Ogan, Laut Tanggo Putus dan Laut Tanggo Buntung. Ketiga meriam
itu masing-masing bernamaSegoeng, Dum-dum dan Bujang Palembang. Ketiganya milik
Maulana Hasanuddin, Suroh Pati dan Ario Damar (Ario Dillah atau Kholik
Hamirullah).
Menurut cerita, Ratu Sinuhun Ning
Sakti memerintah selama 8 tahun. Dialah yang dianggap menjadi penguasa
sebenarnya, sedangkan suaminya hanyalah menjadi Sultan pendamping. Makam sang
Ratu disebut sebagai Sabo Kingking yang terletak di Kota Palembang yang
terletak di kota Palembang Lama sekarang. Di samping itu ada pula nama Sabo
Kingking yang terletak di Banten, yaitu tempat Maulana Hasanuddin dimakamkan.
Uraian di atas didasarkan pada
sumber-sumber yang menyebutkan tentang asal mula nama-nama tempat, dalam hal
ini dikaitkan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah
masuknya Islam di Sumatera Selatan dalam
kurun waktu ke-12 dan ke-13 M. Dari uraian tersebut tampak bahwa seringkali
sumber-sumber tersebut tidak menunjukkan adanya akurasi dalam waktu. Peristiwa-peristiwa
yang berkaitan dilukiskan dengan melibatkan tokoh-tokoh yang sama, namun dalam
kurun waktu yang cukup lama. Sebagai contoh, penjelasan tentang kedatangan
nahkoda Suroh Pati dan Putri Patih sampai pada pengangkatan Putri Patih sampai
pada pengangkatan Putri tersebut menjadi Ratu meliputi kurun wkatu antara
1180-1227 M. Dengan demikian kebenarannya perlu diteliti lebih lanjut. Oleh
karena itulah maka kiranya para ahli sejarah perlu mengkajin kembali kebenaran
sebagian data yang diuraikan dalam tulisan ini, sehingga data yang lebih
akurat, khususnya yang berkenaan dengan tokoh dan waktu, dapat diperoleh dan
diterima untuk menjelaskan proses masuknya agama Islam di Sumatera Selatan.
Sumber; Enan Matalin dalam ‘’ Seminar Masuk dan Berkembangnya
Islam di Sumatera Selatan’’, Pada Tanggal 27 November 1984 di
Palembang.
Editor:
K.H.O. Gadjahnata & Sri-Edi Swasono
Terimakasih atas penjelasannya. Sangat bermanfaat dan menambah khazanah ilmu sejarah saya. Bisa lebih dirinci, lebih dijelaskan khusus mengenai Kerajaan Danau / Pedamaran. atau kalau ada saya bisa dapatkan referensinya dimana? trims
BalasHapusbpk bisa dapatkan di perpustakaan daerah Palembang dan UIN Raden Fatah Palembang
BalasHapussaya sedang meneliti masuknya islam di sumsel, mhn bantuan bisa pinjam bukunya KHO Gadjanata atau softcopynye. terimaksih
BalasHapus